Senin, 18 September 2017

KETERLAKSANAAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN KARAKTER KREATIF PADA HASIL BELAJAR RANAH AFEKTIF MELALUI KEGIATAN PRAMUKA

Deny Setiawan
Student of Postgraduate Doctoral Program, State University of Malang

1.    Pendahuluan
            Pendidikan adalah upaya sadar dan terencana yang dilakukan untuk memotivasi, membina, membantu untuk membentuk pribadi siswa yang berbasis pada kebudayaan dan agama (Tatang, 2012). Pendidikan merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat dan berbangsa (Arifin, 2012). Masyarakat, kebudayaan, dan pendidikan adalah tiga hal yang memiliki hubungan timbal balik, karena proses dan pewarisan nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat dapat dilakukan melalui pendidikan (Tatang, 2012). Sementara kemajuan masyarakat suatu bangsa ditentukan oleh pendidikan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang sesuai dengan perkembangan zaman (Idi, 2013). Pernyataan para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwasanya pendidikan merupakan kegiatan yang diupayakan dan dilakukan untuk mengembangkan diri serta proses mewariskan nilai-nilai dan budaya yang tumbuh berkembang di masyarakat.
Pendidikan merupakan upaya menumbuhkan budi pekerti (character), pikiran (intellect), dan tubuh. Ketiganya tidak dapat dipisahkan agar anak tumbuh dengan baik dan mampu mencapai tujuan pendidikan secara maksimal. Sumber daya manusia yang diharapkan oleh bangsa Indonesia sudah tertuang dalam tujuan pendidikan yaitu untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial subjek dengan perilaku dan sikap individu yang dimilikinya, berupa keterampilan tertentu, potensi spiritual, dan pengembangan sumber daya manusia (Jalaludin, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter adalah bagian yang tidak boleh dipisahkan dalam pelaksanaan pendidikan, karena pendidikan sendiri merupakan proses untuk mewariskan nilai-nilai dan budaya luhur bangsa Indonesia.
2.    Kajian Pustaka
2.1.        Pendidikan
Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha yang dijalankan  untuk mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam rangka menyiapkan dan memperkuat mental peserta didik dalam proses pendidikan. Pendidikan adalah suatu usaha yang sistematis dalam mengembangkan potensi anak didik. Pendidikan merupakan suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi penerus untuk keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa mendatang. Keberlangsungan pendidikan ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter bangsa untuk generasi penerusnya dan juga sebagai proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan dan bangsa di masa mendatang.
Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, anak didik secara aktif mengembangkan potensi diri, melakukan proses pengenalan jati diri, dan penghayatan nilai-nilai luhur dan budaya menjadi kepribadian anak didik dalam bersosialisasi dalam masyarakat, dan mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat dan sejahtera. Ki Hajar Dewantara mengungkapkan, pada umumnya pendidikan berarti upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmani anak didik yang selaras dengan alam dan masyarakat (Ningrum, 2014).
Uraian di atas menunjukkan bahwa pendidikan sangat berkaitan erat dengan kebudayaan yang berlangsung di masyarakat, yang dalam pelaksanaannya mengalami peningkatan dan pengembangan dari waktu ke waktu karena tuntutan globalisasi. Namun kita tidak boleh lupa bahwa pada dasarnya, pendidikan itu sendiri adalah proses untuk mewariskan karakter agar dalam pelaksanaan pendidikan yang terus berkembang anak didik tidak lupa terhadap jati diri dan karakter bangsa.
2.2.        Karakter
Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti menandai atau memfokuskan bagaimana mengaplikasikan kebaikan dan bentuk tindakan atau tingkah laku (Zubaedi, 2013). Douglas mengungkapkan bahwa karakter tidak diwariskan, tetapi sesuatu yang dibangun secara berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran dan perbuatan, pikiran demi pikiran, dan tindakan demi tindakan (Samani, 2013).
Menurut Pusat Bahasa Depdiknas karakter adalah, bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat tabiat, temperamen dan watak, sementara itu, yang disebut dengan berkarakter ialah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat dan berwatak sedangkan pendidikan dalam arti sederhana sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina, kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dalam perkembangannya , istilah pendidikan atau paedagogie, berarti bimbingan atau pertolongan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan seseorang  atau kelompok lain agar menjadi dewasa  untuk mencapai tingkat hidup atau penghidupam lebih tinggi dalam arti mental.
Karakter adalah kualitas atau kekuatan mental dan moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang membedakan antar individu yang ditanamkan dalam proses pendidikan dan melekat pada anak didik Aziz (2011) dalam Depiyanti (2012). Sementara Lasmana (2013) berpendapat bahwa karakter adalah perilaku yang dilandasi oleh nilai-nilai berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum/konstitusi, adat istiadat dan etika.
2.3.        Pendidikan Karakter
            Pendidikan karakter merupakan upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu anak didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat (Pranowo, 2014). Pendidikan karakter merupakan pemahaman akan nilai-nilai agama, budaya, dan sosial yang mampu membentuk akhlak manusia menjadi lebih bermoral dan berbudi pekerti luhur sehingga mampu menilai dan meneladani sikap yang baik dalam kehidupan mereka sehari-hari (Ningrum, 2014).
Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona (1991) adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seserorang yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya. Pendidikan karakter  adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu memperngaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru bebicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Pengkategorikan nilai didasarkan pada pertimbangan bahwa pada hakikatnya perilaku seseorang yang berkarakter  merupakan perwujudan fungsi toalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afekti dan psikomotorik) dan fungsi totalitas social-kultural dalam konteks interaksi (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.
Berdasarkan pada pedoman pelaksanaan pendidikan karakter yang bersumber dari Kementrian Pendidikan Nasional Badan Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kurikulum Dan Perbukuan (2011) Pendidikan karakter di Indonesia bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi 1) Mengembangkan potensi anak didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikir baik, dan berperilaku baik. 2) Membangun bangsa yang berkarakter Pancasila. 3) Mengembangkan potensi warga negara agar memiliki sikap percaya diri dan bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.
Dengan demikian, pendidikan yang sangat dibutuhkan saat ini adalah pendidikan yang dapat mengintegrasikan pendidikan karakter dengan pendidikan yang dapat mengoptimalkan perkembangan seluruh dimensi anak (kreativitas). Pendidikan dengan model pendidikan seperti ini berorientasi pada pembentukan anak sebagai manusia yang utuh, kualitas anak didik menjadi unggul tidak hanya dalam aspek kognitif, namun juga dalam afektifnya. Anak yang unggul dalam afektif akan mampu menghadapi segala persoalan dan tantangan dalam hidupnya.
Berangkat dari hal tersebut diatas, secara formal upaya menyiapkan kondisi, sarana/prasarana, kegiatan, pendidikan, dan kurikulum yang mengarah kepada pembentukan watak dan budi pekerti generasi muda bangsa memiliki landasan yuridis yang kuat. Namun, sinyal tersebut baru disadari ketika terjadi krisis akhlak yang menerpa semua lapisan masyarakat. Tidak terkecuali juga pada anak-anak usia sekolah. Untuk mencegah lebih parahnya krisis akhlak, kini upaya tersebut mulai dirintis melalui kegiatan pramuka untuk membentuk karakter kreatif.
2.4.        Hasil Belajar
Hasil belajar dapat dikatakan sebagai perubahan perilaku pada orang yang melakukan kegiatan belajar, dan banyak aspek potensi di dalamnya (Thobroni dan Mustofa, 2013). Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan keterampilan dari hasil proses belajar yang dilakukan (Suprijono, 2009). Hasil belajar mencakup hampir semua kecakapan, keterampilan, pengetahuan, kebiasaan, keinginan, motivasi, dan sikap yang disadari dan disengaja dari sebuah proses belajar. Hasil belajar terjadi dalam suatu proses melalui latihan dan pengalaman serta diberikan penguatan,  secara bertujuan dan terarah (Hosnan, 2014).
Menurut Bloom dalam Thobroni dan Mustofa (2013) berpendapat bahwa hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Domain kognitif mencakup knowledge (pengetahuan/ingatan), comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas), application (menerapkan), analysis (menguraikan), synthesis (merencanakan, mengorganisasikan), evaluating (menilai). Domain afektif mencakup receiving (sikap menerima), responding (memberi respon), valuing (nilai), organization (organisasi), characterization (karakteristik). Domain psikomotor mencakup hasil belajar, keterampilan produk, teknik, fisik, sosial, manajerial, dan intelektual. Sedangkan hasil belajar dalam Kurikulum 2013 diarahkan untuk memberdayakan semua potensi yang dimiliki peserta didik agar mereka dapat memiliki kompetensi yang diharapkan melalui upaya menumbuhkan serta mengembangkan sikap/attitude, pengetahuan / knowledge, dan keterampilan/skill. Kualitas lain yang dikembangkan dalam proses pembelajaran antara lain kreativitas, kemandirian, kerjasama, solidaritas, kepemimpinan, empati, toleransi, dan kecakapan membentuk watak (Hosnan, 2014).
2.5.        Kreativitas
Kreativitas belajar adalah kemampuan siswa dalam menggunakan gagasan dan ide untuk memecahkan suatu permasalahan dalam suatu proses pembelajaran (Hosnan, 2014). Menurut West sebagaimana dikutip dalam Setyabudi (2011) kreativitas belajar merupakan sebuah proses penyatuan konsep dalam pembelajaran untuk menghasilkan ide baru yang lebih baik. Menekankan pada aspek proses maupun produk pada kepentingan belajar bahwa kreativitas diartikan sebagai kemampuan untuk mencetuskan ide yang original dan baru (Siswono dan Rosyidi, 2005).
Berdasarkan pengertian kreativitas belajar di atas dapat disimpulkan bahwa kreativitas belajar siswa adalah kemampuan siswa yang berhubungan dengan suatu penguasaan kreatif mandiri, menemukan cara dan sarana dari penyelesaian masalah pada pembelajaran. Kreativitas matematika dalam penelitian ini menekankan pada pemecahan masalah dan pengajuan masalah matematika. Agar kreativitas anak dapat terwujud dibutuhkan adanya dorongan dalam diri individu (motivasi intrinsik) maupun dorongan dari lingkungan (motivasi ekstrinsik).
Rujukan
Arifin, A. H. 2012. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Praksi Pendidikan di Indonesia. Jurnal Pembangunan Pendidikan : fondasi dan aplikasi. Vol. 1 No. 1/ Juni.
Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional. 2010
Bakhtiar, Amsal. 2016. Filsafat Ilmu. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Dardini, Achmad. 2007. Problematika Filsafat Pendidikan. Jurnal
Depiyanti, Oci Melisa. 2012. Model Pendidikan karakter di Islamic Full Day School (studi deskriptif pada SD Cendikia Leadership School Bandung). Jurnal
Idi, A. 2013. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Rajawali Press.
Jalaludin. 2012. Membangun SDM Bangsa Melalui Pendidikan Karakter. Jurnal Penelitian Pendidikan. Vol 13. No 2.
Lasmana, Wayan. 2013. Pengembangan materi dan model pendidikan karakter berbasis budaya dalam konteks intruksional (TK:Undiksha, prodi pendidikan IPS, TT). Jurnal
Ningrum, Wara Sulista. 2014.  Identifikasi kebutuhan penidikan karakter di SDN Inpres 01 Tindi Kecamatan Palu Timur. Jurnal
Pranowo, Dwiyanto Djoko. 2014. Implementasi pendidikan karakter kepedulian dan kerjasama pada matakuliah keterampilan berbicara bahasa perancis dengan metode bermain peran. Jurnal
Samani, M. 2013. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Sukmadinata, S. N. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Tatang. 2012. Ilmu Pendidikan. Bandung : Pustaka Setia.
Wibisono, Haryo Kunto, et.al. 2013. Dimension of Pancasila Ethics In Bureaucracy : Discourseof Governance. Jurnal :  ISBN 978-2-940428-44-1
Winanrni, S. 2013. Inegrasi Pendidikan Karakter dalam Perkuliahan. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III No. 1
Winarno, 2012 : Pendidikan Karakter di Indonesia dalam Perspektif filsafat moral dan filsafat pendidikan. Jurnal

Zubaedi. 2013. Desain Pendidikan Karakter. Jakarta : Kencana.

Minggu, 22 Mei 2016

METODE PENELITIAN STUDI KASUS


Deny Setiawan
Student of Postgraduate Doctoral Program, State University of Malang
denysetiawan3004@gmail.com

I.                   PENDAHULUAN
Untuk memaksimalkan hasil penelitian, hendaknya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses atau sekelompok individu dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Tujuan dalam pelaksanaan penelitian tersebut adalah untuk memahami bagaimana suatu peristiwa dapat berjalan daripada mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang kasus tunggal atau mengeksplorasi isu atau dengan menggunakan kasus tersebut sebagai ilustrasi spesifik (Creswell, 2015:135).
Banyak penelitian dalam pelaksanaan penelitiannya tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Terdapat kecenderungan dikalangan peneliti untuk melakukan penyelidikan secara langsung terjun ke lapangan guna mengumpulkan data tanpa perencanaan yang matang. Pada waktu pengolahan data baru dirasakan adanya kekurangan-kekurangan dalam penelitian secara keseluruhan, sehingga hasil yang diperoleh tidak maksimal, baik bagi si peneliti sendiri, maupun bagi pihak yang akan mempergunakan hasil penelitian. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa studi kasus  merupakan hal yang sangat penting artinya untuk mendapatkan hasil penelitian yang maksimal (Merriam, 1998; Denzin dan Lincoln, 2005; Yin, 2009; ) dalam (Creswell, 2015:135)  
Penulisan makalah ini bertujuan untuk membahas tentang penelitian studi kasus dan mengacu pada buku yang ditulis oleh John W. Creswell dengn judul “Penelitian Kualitatif dan Desain Riset”. Adapun batasan pada penulisan makalah agar lebih terarah yakni : 1) Penjelasan mengenai pengertian studi kasus; 2) Ciri-ciri studi kasus; 3) Jenis studi kasus; 4) Langkah penelitian studi kasus; 5) Kelebihan dan kekurangan Studi Kasus; dan 6) Contoh penelitian Studi kasus.

II.                KAJIAN PUSTAKA
III.             1. Pengertian Studi Kasus
Penelitian Studi kasus adalah pendekatan kualitatif yang penelitiannya mengeksplorasi kehidupan-nyata, sistem terbatas kontemporer (kasus) atau beragam sistem terbatas (berbagai kasus) melalui pengumpulan data yang detail dan mendalam serta melibatkan beragam sumber informasi dan melaporkan deskripsi kasus dan tema kasus (Creswell, 2015:135-136). Sementara Given dalam bukunya The Sage Encyclopedia of Qualitative Research Methods sebagaimana dikutip (Halimi, 2014:2) mengungkapkan bahwa Penelitian kasus atau studi kasus adalah suatu penelitian yang dilakukan secara intensif terinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh (Maxfield, 1930; Bogdan dan Bikien, 1982; Surachmad, 1982; Yin, 1987, Ary, et.al, 1985) sebagaimana dikutip (Bahri, 2014:1-2) bahwasanya studi kasus merupakan penelitian tentang subjek yang berkenaan dengan fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas secara intensif serta lebih bersifat teknis dengan penekanan pada ciri-cirinya.
Hasil penelitian studi kasus merupakan suatu generalisasi dari pola-pola kasus yakni tipikal dari individu, kelompok, lembaga, dan sebagainya. Tergantung dari tujuannya, ruang lingkup dari studi dapat mencakup segmen atau bagian tertentu atau mencakup keseluruhan siklus kehidupan dari individu, kelompok, dan sebagainya, baik dengan  penekanan terhadap factor-faktor kasus tertentu, ataupun meliputi keseluruhan factor-faktor dan fenomena-fenomena. Studi kasus lebih menekankan mengkaji variabel yang cukup banyak pada jumlah unit yang kecil. Ini berbeda dengan metode survai, di mana peneliti cenderung mengevaluasi variabel yang lebih sedikit, tetapi dengan unit sample yang relative besar.
2. Ciri-ciri Studi Kasus
            Tinjauan singkat terhadap berbagai studi kasus kualitatif yang dilaporkan dalam berbagai literatur menghasilkan beberapa ciri khas. Ciri-ciri studi kasus dapat dilihat dari tabel berikut ini, antara lain:
Ciri-ciri
Penelitian Studi Kasus
Fokus
Mengembangkan deskripsi dan analisis mendalam tentang kasus atau beragam kasus (kasus majemuk)
Tipe permasalahan yang paling cocok untuk desain
Menyediakan pemahaman mendalam tentang kasus atau berbagai kasus
Latar belakang disiplin
Mengambil dari psikologi, hukum, sains politik, dan kedokteran
Satuan analisis
Mempelajari peristiwa, program, aktivitas, atau lebih dari satu individu
Bentuk pengumpulan data
Menggunakan beragam sumber, seperti: 1) wawancara; 2) pengamatan; 3) dokumen; dan 4) artefak
Strategi analisis data
Menganalisis data melalui deskripsi tentang kasus dan tema dari sebuah kasus dan tema lintas kasus
Laporan tertulis
Mengembangkan analisis detail tentang satu atau lebih kasus
Struktur umum dari studi
1.      Sketsa pendahuluan
2.      Pengantar (permasalahan, pertanyaan, studi kasus, pengumplan data, analisis data, dan hasil)
3.      Deskripsi tentang kasus/beberapa kasus dan konteks
4.      Pengembangan masalah
5.      Rincian tentang masalah yang dipilih
6.      Penegasan
7.      Sketsa penutup
(Creswell, 2015)
3. Jenis Studi Kasus
            Dalam pelaksanaan penelitian studi kasus, terdapat beberapa jenis studi yang memiliki fungsi berbeda. Sebagaimana yang diungkapkan oleh (Halimi, 2014:4) setidaknya ada 6 jenis penelitian studi kasus yang berbeda, jenis-jenis studi kasus tersebut diantaranya adalah :
1. Studi kasus kesejarahan mengenai organisasi, dipusatkan pada perhatian organisasi tertentu dan dalam kurun waktu tertentu, dengan rnenelusuni perkembangan organisasinya. Studi ini sering kurang memungkinkan untuk diselenggarakan, karena sumbernya kurang mencukupi untuk dikerjakan secara minimal.
2. Studi kasus observasi, mengutamakan teknik pengumpulan datanya melalui observasi peran-serta atau pelibatan (participant observation), sedangkan fokus studinya pada suatu organisasi tertentu. Bagian-bagian organisasi yang menjadi fokus studinya antara lain: (a) suatu tempat tertentu di dalam sekolah; (b) satu kelompok siswa; (c) kegiatan sekolah.
3. Studi kasus sejarah hidup, yang mencoba mewawancarai satu orang dengan maksud mengumpulkan narasi orang pertama dengan kepemilikan sejarah yang khas. Wawancara sejarah hidup biasanya mengungkap konsep karier, pengabdian hidup seseorang, dan lahir hingga sekarang, masa remaja, sekolah, topik persahabatan dan topik tertentu lainnya.
4. Studi kasus kemasyarakatan, merupakan studi tentang kasus kemasyarakatan (community study) yang dipusatkan pada suatu lingkungan tetangga atau masyarakat sekitar (kornunitas), bukannya pada satu organisasi tertentu bagaimana studi kasus organisasi dan studi kasus observasi.
5. Studi kasus analisis situasi, jenis studi kasus ini mencoba menganalisis situasi terhadap peristiwa atau kejadian tertentu. Misalnya terjadinya pengeluaran siswa paa sekolah tertentu, maka haruslah dipelajari dari sudut pandang semua pihak yang terkait, mulai dari siswa itu sendiri, teman-temannya, orang tuanya, kepala sekolah, guru dan mungkin tokoh kunci lainnya.
6. Mikroethnografi, merupakan jenis studi kasus yang dilakukan pada unit organisasi yang sangat kecil, seperti suatu bagian sebuah ruang kelas atau suatu kegiatan organisasi yang sangat spesifik pada anak-anak yang sedang belajar menggambar.
4. Langkah Penelitian Studi Kasus
            Tahapan pelaksanaan studi kasus ada beberapa tahapan/langkah yang harus dilakukan, sebagaimana diungkapkan oleh (Stakes, 1995; Yin, 2009) yang dikutip oleh (Creswell, 2014:140-141) ada setidaknya 5 tahapan, diantaranya adalah: 1) Menentukan terlebih dahulu apakah pendekatan studi kasus sudah tepat untuk mempelajari permasalahan risetnya; 2) Mengidentifikasi kasus yang diteliti; 3) Pengumpulan data dalam riset studi kasus meluas dan pengambilannya dari beragam sumber informasi; 4) Tipe analisis data berupa analisis holistik dari keseluruhan kasus atau analisis melekat dari kasus tersebut; dan 5) Pada penafsiran akhir, peneliti melaporkan makna dari kasus yang diteliti apakah kasus tersebut instrumental atau intrinsik.
            Selain apa yang diungkapkan oleh Creswell di atas, di sisi lain (Halimi, 2014:5-6) juga mengungkapkan bahwasanya dalam pelaksanaan penelitian studi kasus harus memperhatikan langkah-langkah sebagai berikut ini:
1. Pemilihan kasus: dalam pemilihan kasus hendaknya dilakukan secara bertujuan (purposive) dan bukan secara rambang. Kasus dapat dipilih oleh peneliti dengan menjadikan objek orang, lingkungan, program, proses, dan masyarakat atau unit sosial.Ukuran dan kompleksitas objek studi kasus haruslah masuk akal, sehingga dapat diselesaikan dengan batas waktu dan sumber-sumber yang tersedia.
2. Pengumpulan data: terdapat beberapa teknik dalam pengumpulan data, tetapi yang lebih dipakai dalarn penelitian kasus adalah observasi, wawancara, dan analisis dokumentasi. Peneliti sebagai instrurnen penelitian, dapat menyesuaikan cara pengumpulan data dengan masalah dan lingkungan penelitian, serta dapat mengumpulkan data yang berbeda secara serentak.
3. Analisis data: setelah data terkumpul peneliti dapat mulai mengagregasi, mengorganisasi, dan mengklasifikasi data menjadi unit-unit yang dapat dikelola. Agregasi merupakan proses mengabstraksi hal-hal khusus menjadi hal-hal umum guna menemukan pola umum data. Data dapat diorganisasi secara kronologis, kategori atau dimasukkan ke dalam tipologi.Analisis data dilakukan sejak peneliti di lapangan, sewaktu pengumpulan data dan setelah semua data terkumpul atau setelah selesai dan lapangan.
4. Perbaikan (refinement): meskipun semua data telah terkumpul, dalam pendekatan studi kasus hendaknya dilakukan penyempurnaan atau penguatan (reinforcement) data baru terhadap kategori yang telah ditemukan. Pengumpulan data baru mengharuskan peneliti untuk kembali ke lapangan dan barangkali harus membuat kategori baru, data baru tidak bisa dikelompokkan ke dalam kategori yang sudah ada.
5. Penulisan laporan: laporan hendaknya ditulis secara komunikatif, mudah dibaca, dan mendeskripsikan suatu gejala atau kesatuan sosial secara jelas, sehingga memudahkan pembaca untuk memahami seluruh informasi penting. Laporan diharapkan dapat membawa pembaca ke dalam situasi kasus kehidupan seseorang atau kelompok.
            Lebih lanjut Creswell mengemukakan sebagaimana dikutip oleh (Kusmarni, 2014:4) beberapa “tantangan” dalam perkembangan studi kasus kualitatif sebagai berikut : 1) Peneliti hendaknya dapat mengidentifikasi kasusnya dengan baik; 2) Peneliti hendaknya mempertimbangkan apakah akan mempelajari sebuah kasus tunggal atau multikasus; 3) Dalam memilih suatu kasus diperlukan dasar pemikiran dari peneliti untuk melakukan strategi sampling yang baik sehingga dapat pula mengumpulkan informasi tentang kasus dengan baik pula; 4) Memiliki banyak informasi untuk menggambarkan secara mendalam suatu kasus tertentu. Dalam merancang sebuah studi kasus, peneliti dapat mengembangkan sebuah matriks pengumpulan data dengan berbagai informasi yang dikumpulkan mengenai suatu kasus; dan 5) Memutuskan “batasan” sebuah kasus. Batasan-batasan tersebut dapat dilihat dari aspek waktu, peristiwa dan proses.
5. Kelebihan dan Kekurangan Studi Kasus
            Sebagaimana yang diungkapkan oleh (Multazam, 2013:4-5) penelitian menggunakan studi kasus memiliki bebeapa beberapa kelebihan dan kekurangan, diantaranya sebagai berikut ini.
Kelebihan
Kekurangan
1. Analisis intensif yang dilewatkan tidak dlakukan oleh metode lain.
2. Dapat menghasilkan ilmu pengetahuan pada kasus khusus.
3. Cara yang tepat untuk mengeksplorasi fenomena yang belu secara detail diteliti.
4. Informasi yang dihasilkan dalam studi kasus dapat sangat bermanfaat dalam menghasilkan hipotesis yang diuji lebih ketat, rinci, dan seteliti mungkin pada penelitian berikutnya.
5. Studi kasus yang bagus (well designed) merupakan sumber informasi deskriotif yang baik dan dapat digunakan sebagai bukti untuk suatu pengembangan teori atau menyanggah teori.
1. Studi kasus seringkali dipandang kurang ilmiah atau pseudo-scientific karena pengukurannya bersifat subjectif atau tidak bisa dikuantifisir. Dalam hal ini, kritik ini juga mempertanyakan validitas dari hasil penelitian studi kasus.
2. Karena masalah interpretasi subjektif pada pengumpulan dan analisa data studi kasus, maka mengerjakan pekerjaan ini relative lebih sulit dari penelitian kuantitatif.
3. Masalah generalisasi. Karena skupa penelitian baik issu maupun jumlah orang yang menjadi target kajian studi kasus sangat kecil, kemampuan generalisasi dari temuan pada studi kasus adalah rendah.
4. Karena lebih bersifat deskriftif, studi kasus juga dianggap kurang memberi sumbangan pada persoalan-persoalan praktis mengatasi suatu masalah.
5. Biaya penyelenggaraan yang relative mahal. Karena kedalaman ibformasi yang digali pada studi kasus, maka luangan waktu dan fikiran untuk mengerjakan studi kasus jauh lebih banyak daripada studi dengan skala yang besar, tetapi hanya melingkupi data yang terbatas. Untuk hal ini, sebagian orang menganggap bahwa studi kasus lebih mahal dari pada penelitian-penelitian kuantitatif.
6. Karena fleksibilitas desain studi kasus, ini memungkinkan peneliti untuk beralih fokus studi ke arah yang tidak seharusnya.
(Multazam, 2013)
6. Contoh Penelitian Studi kasus
Disuatu kelas terdapat seorang siswa yang sangat menonjol, lain dari yang lain. Jika diajar tidak pernah tenang, sifatnya keras suka membantah. Sikapnya berang, akan tetapi prestasinya luas biasa baik. Siswa seperti ini pantas dijadikan “kasus”, artinya dijadikan subjek dalam penelitian menggunakan studi kasus.
Di dalam penelitian tersebut siswa diselidiki apa penyebab siswa mempunyai tingkah laku demikian. Apa saja yang melatar belakanginya, bagaimana sejarahnya dan seterusnya.

DAFTAR PUSTAKA
Creswell, John W. (2015). Penelitian Kualitatif dan Desain Riset : Memilih Diantara Lima Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hamili (2014). Penelitian Studi Kasus Desain Metode.
Bahri, Syamsyul (2014). Makalah Metode Penelitian Studi Kasus.
Kusmarni, Yani (2014). Laporan Studi Kasus.
Multazam, Ahmad (2013). Studi Kasus Dalam Metodologi Penelitian.